Minggu, 19 April 2009

Standar UN Dinaikkan, Sekolah Terjebak Kejar Lulus

JAKARTA - Pemerintah memilih menaikkan standar kelulusan Ujian Nasional (UN) 2009 dari sebelumnya 5,25 menjadi 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan nilai minimal 4,00 paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya.

Pakar pendidikan Arief Rahman mengkhawatirkan sekolah malah terjebak pada mengejar kelulusan tinggi, padahal yang paling penting adalah melaksanakan ujian secara bertanggung jawab dan jujur.

"UN harus dihadapi dengan persiapan yang cukup, bukan dengan kecurangan atau mendongkrak nilai agar siswa lulus semua," ujarnya saat berbincang dengan okezone, Senin (20/4/2009).

Meski demikian, Arief mengakui dampak dari dinaikkannya standar UN akan mendorong sekolah, siswa, guru dan orangtua memerhatikan kegiatan belajar mengajar.

Namun karena yang diujikan hanya beberapa mata pelajaran, maka kegiatan belajar hanya terfokus pada pelajaran tersebut, sedangkan yang lainya terabaikan.

Menurut dia, konsekuensi dari kenaikan standar UN 2009, akan meningkatkan jumlah ketidaklulusan bagi sekolah tertentu yang tidak siap dengan kebijakan tersebut.

"Jadi kenaikan standar UN bagi sekolah tertentu tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan karena tidak siap," ungkap Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.

Bagaimana dengan siswa yang tidak lulus? "Yah, mau tidak mau harus mengulang atau seperti tahun lalu ikut ujian Paket C setara SMA," kata Arief.

Rekapitulasi Molor

Medan, Kompas - Meski baru memasuki hari pertama, rekapitulasi suara di KPU Medan hampir dipastikan molor dari jadwal yang ditentukan. Penyebabnya, rekapitulasi di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan masih belum selesai meski telah lewat tenggat yang ditentukan.

Minggu (19/4), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan mulai melakukan rekapitulasi penghitungan suara per kecamatan. Namun, baru dua kecamatan dari 21 kecamatan di Medan yang telah benar-benar menyelesaikan rekapitulasi di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Menurut anggota KPU Medan Divisi Hukum dan Humas, Pandapotan Tamba, sebenarnya pada hari pertama rekapitulasi di KPU Medan ada empat kecamatan yang menyerahkan hasil rekapitulasi suara tingkat PPK.

Sebenarnya ada empat PPK yang menyerahkan hasil rekapitulasi, yakni Medan Marelan, Medan Selayang, Medan Baru, dan Medan Petisah. Namun, hasil rekapitulasi dari Kecamatan Medan Baru dan Medan Petisah dikembalikan lagi oleh KPU Medan karena dinilai masih ada kesalahan teknis dari PPK yang bersangkutan. Bahkan, rekapitulasi suara di KPU Medan terpaksa diskors sore hari untuk dilanjutkan pada Minggu malam karena banyaknya kesalahan teknis dari berita acara yang diserahkan PPK.

”PPK Medan Baru tak menyertakan formulir DA perolehan suara partai politik per kecamatan, sementara PPK Medan Petisah belum memberikan formulir C1 untuk panwas lapangan dan saksi parpol. Kalau formulir C1 belum diberikan, saksi kan tidak bisa memperbandingkan hasil perolehan suaranya sewaktu rekapitulasi di tingkat KPU Medan,” ujar Pandapotan.

Pandapotan mengakui, dari 21 kecamatan di Medan, beberapa kecamatan masih belum menyelesaikan rekapitulasi di tingkat PPK, antara lain Medan Belawan, Medan Deli, Medan Amplas, Medan Kota, Medan Kota, Medan Area, Medan Denai, dan Medan Tembung.

Menurut Pandapotan, terlambatnya PPK merekapitulasi suara pemilu legislatif terutama karena PPK kurang menguasai teknis pengisian berbagai formulir rekapitulasi.

Bahkan, menurut Pandapotan, akibat banyaknya formulir yang harus diisi, salah seorang ketua PPK sampai dirawat di rumah sakit akibat kelelahan. Ketua PPK Medan Amplas, Kesuma Anwari, kini terpaksa dirawat di ruang gawat darurat Rumah Sakit Methodist Medan. ”Yang bersangkutan terpaksa dirawat di rumah sakit karena kelelahan,” ujar Pandapotan.
Sumber :

Pesan untuk Para Kandidat

Perhelatan demokrasi terbesar telah menghasilkan bayangan kepemimpinan nasional lima tahun mendatang. Belum bisa dipastikan pasangan presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada Juli, tetapi upaya koalisi yang sedang gencar menarik diamati karena sedikit banyak akan berpengaruh pada pembangunan ekonomi nasional lima tahun ke depan.

Apabila platform ekonomi partai politik besar dibandingkan, sebenarnya tidak banyak perbedaan yang bisa menjadi acuan. Praktis semua partai politik, demikian pula kandidat presiden-wakil presiden nantinya, menginginkan perekonomian Indonesia yang lebih baik, tumbuh lebih cepat, dan lebih menyejahterakan rakyat.

Perbedaan sedikit muncul pada cara parpol atau kandidat presiden mencapai cita- cita perekonomian nasional yang lebih baik tersebut. Ada yang menekankan pada perlunya melanjutkan kebijakan yang ada. Ada yang menekankan pada perlunya pemihakan kepada rakyat kecil dan pedesaan. Dan, ada pula yang memprioritaskan kedaulatan ekonomi nasional.

Apa pun perbedaan tujuan atau cara mencapai tujuan itu, satu hal yang seharusnya menjadi pijakan dasar para kandidat yang akan bersaing menjadi presiden RI adalah bagaimana mengoptimalkan potensi ekonomi yang ada. Pertanyaan ini sepertinya tidak baru lagi, tetapi harus diakui dalam era demokrasi dan desentralisasi saat ini menjadi lebih sulit bagi pimpinan negara untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Sangat dimengerti apabila koalisi yang sedang berproses tidak hanya sekadar mencari batas minimum untuk mengajukan kandidat, tetapi juga menjaga kelancaran pemerintahan lima tahun ke depan dalam konteks hubungan pemerintah dan DPR. Bahkan, dalam rangka optimalisasi potensi ekonomi tersebut, akan lebih baik apabila koalisi yang nantinya dibentuk selain bersifat permanen dan mengikat, juga memerhatikan peta politik di daerah yang dalam era desentralisasi ini mempunyai otonomi membuat kebijakan ekonomi lokal.

Pertanyaan yang muncul adalah potensi apakah yang harus dioptimalkan. Status sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, negara demokrasi terbesar ketiga, serta negara Muslim terbesar harus dilihat sebagai berkah dan bukan sebagai beban. Perkembangan ekonomi saat ini menegaskan bahwa size does matter atau dengan kata lain potensi kekuatan ekonomi dunia di masa depan ada pada perekonomian dengan jumlah penduduk besar dan wilayah luas.

Fenomena BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) menegaskan tren tersebut. Penduduk yang mungkin selama ini menjadi beban harus dilihat sebagai kekuatan yang membuat ekonomi lebih tahan guncangan. Krisis saat ini membuktikan bahwa kekuatan ekonomi domestik menjadi basis bagi Indonesia meredam dampak krisis.

Indonesia mengalami bonus demografi yang cukup panjang, ditandai oleh kian banyaknya penduduk usia produktif yang siap mengisi pasar kerja. Padahal, beberapa negara Asia, seperti China, Jepang, dan Korea, mengalami ketidakseimbangan, di mana penduduk usia lanjut menjadi beban penduduk usia produktif.

Berkaitan dengan penduduk, besarnya produk domestik bruto Indonesia yang masuk 20 besar dunia, kelima terbesar di Asia, terbesar di Asia Tenggara, dan ketiga terbesar di negara Muslim adalah modal yang luar biasa untuk terus bertumbuh menjadi kekuatan ekonomi dunia. Paling tidak, lima tahun ke depan Indonesia berpotensi masuk 15 besar dunia.

Perkiraan tersebut tentunya ditunjang kenyataan bahwa Indonesia adalah satu dari sangat sedikit negara di dunia yang menjadi produsen utama dunia untuk berbagai komoditas perkebunan dan pertambangan.

Meskipun berlokasi di ring of fire, tidak ada keraguan bahwa Indonesia diberkahi kekayaan sumber daya alam yang besar. Selama pemerintah bisa mengelola kekayaan tersebut dengan baik sekaligus berkelanjutan, bukan mustahil jalan menjadi negara maju sebenarnya sudah di depan mata.

Di balik segala potensi tadi, jangan dilupakan bahwa indeks pembangunan manusia Indonesia sangat rendah (bahkan di antara negara-negara ASEAN), daya saing dan daya tarik investasi jauh dari harapan, serta tentunya peringkat negara terkorup yang masih relatif tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi yang ada sampai saat ini masih jauh dari upaya mengoptimalkan potensi.

Begitu kontrasnya antara potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia mengindikasikan bahwa para kandidat mempunyai tanggung jawab yang berat untuk mendekatkan kesenjangan potensi dan kenyataan. Apabila dalam waktu lima tahun tidak ada terobosan kebijakan berani, tegas, dan inovatif, potensi hebat tadi bisa jadi hanya menjadi kenangan suatu saat.

Sinkronisasi pusat-daerah

Salah satu prinsip dasar kebijakan ekonomi lima tahun ke depan adalah adanya hubungan yang konstruktif antara pemerintah pusat dan daerah. Era pemerintah pusat mengerjakan segalanya sudah berakhir. Pemerintah yang sukses ke depan adalah pemerintah yang mampu menggalang dukungan daerah untuk menyukseskan kebijakan ekonomi nasional sekaligus menciptakan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah.

Penerapan standar pelayanan nasional di setiap daerah untuk pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur adalah langkah awal menuju pembangunan ekonomi yang berorientasi rakyat, mengurangi kesenjangan, sekaligus menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Alokasi serta pengelolaan APBN dan APBD akan menjadi kunci pencapaian standar tersebut, di mana tidak ada toleransi lagi bagi keterlambatan pencairan anggaran dan alokasi yang tidak jelas juntrungannya.

Di sisi kebijakan makro, penciptaan nilai tambah komoditas primer harus menjadi tema utama pembangunan industri. Kenaikan harga komoditas perkebunan dan pertambangan mungkin akan masih terjadi pada masa depan, tetapi krisis ekonomi sekarang menunjukkan betapa rapuhnya ketergantungan pada ekspor komoditas yang harganya sangat fluktuatif.

Efektivitas dari kebijakan di atas pada akhirnya akan bergantung pada eksekusi dan implementasi kebijakan itu sendiri. Inilah saatnya kandidat presiden-wapres serta para anggota Dewan yang untuk pertama kali dipilih dengan suara terbanyak menorehkan sejarah sebagai eksekutif dan legislatif yang meletakkan dasar Indonesia sebagai negara maju.

Masalah-masalah yang masih menggantung, seperti masalah tenaga kerja, pembebasan lahan, serta pemberantasan korupsi, harus dituntaskan segera, dan di atas semuanya, kestabilan politik dan keamanan dalam kehidupan demokrasi harus dijaga. Saat ini negara-negara anggota ASEAN kagum atas kestabilan dan kehidupan demokrasi Indonesia dan lima tahun ke depan adalah momentum yang paling tepat untuk memperluas kekaguman tersebut pada pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkualitas, pertumbuhan yang menyejahterakan seluruh masyarakat.

Bambang PS Brodjonegoro Guru Besar Fakultas Ekonomi UI dan Direktur Bank Pembangunan Islam
Sumber :