Rabu, 15 April 2009

Kasus Oknum Bupati Madina Berbuntut Panjang

Medan, Sikap Panwaslu Sumut menggulirkan kasus pidana Pemilu oknum Bupati Mandailing Natal (Madina), H. Amru Helmy Daulay SH ke Depdagri patut dipujikan, karena “hukum harus ditegakkan walau langit runtuh”. Panwaslu memiliki bukti, ada sejumlah pelanggaran yang dilakukan oknum bupati di antaranya politik uang (money politic), menggunakan fasilitas negara, mengkampanyekan anaknya Ir.Neil Iskandar Daulay salah seorang caleg DPR RI dari Partai Golkar dan memobilisasi massa..
Ketua Panwaslu Sumut, Ikhwaluddin Simatupang SH tidak patah arang walau pun Poldasu mengembalikan berkas kasus Bupati Madina, dengan alasan kasusnya sudah kadaluarsa. Alasan ini masih jadi perdebatan, karena terkesan “Kalau tidak ada berada tidak (burung) tempua bersarang rendah”. Panwaslu Sumut sendiri segera memanggil Panwaslu Madina untuk klarifikasi masalah kadaluarsa ini. Penghitungan suara hasil Pemilu belum rampung, tapi terasa aneh jika kasus yang timbul, mendadak bisa kadaluarsa. Di sini dibutuhkan penjelasan yang rinci, sehingga masyarakat peserta pemilu dapat menyimaknya dengan cermat.
Tekad Panwaslu Sumut ini mendapat dukungan anggota Komisi-A DPRD Sumut dari PDIP Syamsul Hilal yang hari Senin (13/4) berkunjung ke Panwaslu Sumut. Penjelasan Syamsul lebih tajam lagi. Ia minta semua pihak bertindak tegas dalam mengatasi berbagai kecurangan yang terjadi pada pemilu, sehingga pelaksanaan demokrasi berlangsung dengan baik. Tindakan tegas itu juga harus dilakukan terhadap kepala daerah yang diindikasikan melakukan kecurangan, seperti melakukan mobilisasi massa untuk memilih parpol tertentu atau melakukan politik uang.
Anggota DPRD SU dari Komisi pemerintahan, yang banyak menerima informasi dari berbagai pihak menyebutkan, terdapat dugaan tujuh kepala daerah yang melakukan kecurangan dengan memobilisasi massa untuk kepentingan parpol tertentu. Tapi ia tidak menyebutkan parpolnya. Kalangan politisi mengetahui dengan pasti parpol yang dituding tersebut. Dalam menindak kecurangan itu, Syamsul mendesak pemerintah agar menon-aktifkan mereka. Para kepala daerah itu yakni Madina, Asahan, Pematang Siantar, Binjai, Tapanuli Tengah, Nias dan Tapanuli Utara.
Panwaslu Sumut sendiri ternyata tidak menunggu laporan, akan tetapi langsung melakukan penelitian ke berbagai kabupaten dan kota. Dari hasil penelitian itu dipastikan tiga daerah yang terindikasi melakukan pelanggaran pemilu. Kepala daerah Kabupaten Madina dan kota Pematang Siantar terindikasi memobilisasi massa untuk memilih parpol tertentu. Sedangkan di kota Binjai terjadi kasus politik uang yang dilakukan salah satu caleg dari Partai Golkar.
Kasus dugaan pelanggaran pidana Pemilu yang dilakukan Bupati Madina dinilai yang paling menyita perhatian. Berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh Panwaslu Sumut, ditemukan bahwa pada tanggal 25 Februari 2009 bertempat di Gedung Serba Guna Pemkab Madina di Panyabungan, ibukota kabupaten, terjadi mobilisasi massa. Dalam hal ini Bupati Madina bersama Kadis UKM Koperasi Madina serta Ketua Koperasi Wanita Surya Sakinah, Desa Gunung Tua, Panyabungan, mengajak sekitar 1.100 hadirin untuk memilih Ir. Neil Iskandar Daulay. Ia dianggap tokoh masa depan yang akan memperjuangkan Madina.
Agar sukses menggiring massa memilih anaknya, Bupati Madina bersama ajudannya membagi-bagikan amplop berisi uang Rp 50 ribu.
Di tengah-tengah kesibukan Panwaslu Sumut mengusut kasus Bupati Madina, mendadak Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal (ImaMadina) mengeluarkan pernyataan mirip orang kepanasan. Organisasi ini menuntut Ketua Panwaslu Sumut, Ikhwaluddin Simatupang SH mundur dari jabatannya karena tidak professional. Kelompok ini merasa keberatan karena Panwaslu menyudutkan Amru dalam kasus money politic. Ikatan mahasiswa ini merasa gembira, karena laporan Panwaslu ke Poldasu sudah ditolak. Masih perlu ditelusuri, siapa yang menggerakkan organisasi mahasiswa ini, karena diprakirakan ada ujung-ujungnya. Sikap mahasiswa ini tidak profesional karena mencampuri urusan penegakan hukum dan justru tidak semua mahasiswa Madina setuju dengan tindakan bupatinya.
Tapi persoalannya masih panjang dan tidak terhenti di Poldasu. Panwaslu Sumut menggelindingkan kasus tersebut ke Mendagri, yang kini sedang ditelaah. Campur tangan kepala daerah dalam kampanye parpol, dipercaya akan menyebabkan kemunduran demokrasi dan kembali ke era Orde Baru. Pada masa itu peranan kepala daerah sangat menentukan dalam penentuan caleg untuk duduk di lembaga legislatif. Ketika itu demokrasi cuma judulnya saja. Oposisi diharamkan, koran yang rajin mengkritik pentas kekuasaan diberangus. Mendirikan parpol juga diharamkan. Hanya ada tiga pilihan yakni PPP, Golkar dan PDI. Di era tersebut Golkar tidak disebut sebagai parpol. Tapi penguasa ketika itu menyebutnya sebagai “demokrasi Pancasila” dan kadang-kadang juga “demokrasi pembangunan”.
(www.antarasumut.com).-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar