Minggu, 03 Mei 2009

40 Persen Kekerasan Terhadap Wartawan Dilakukan Aparat

Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat 40 persen dari 52 kasus kekerasan pada wartawan dilakukan oleh tentara dan polisi. Dari data sepanjang Mei 2008-Mei 2009, LBH pers mencatat sebanyak 40 % dari 52 kasus kekerasan yang terjadi pada wartawan.
Demikaina dkatakan Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana di kantornya Ahad (3/5)
"Separuh lebih berupa kekerasan nonfisik," beber Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers). Kekerasan tersebut meliptui non fisik yakni perampasan kamera, pelarangan peliputan tercatat 27 kasus. Beda tipis, jelas Hendrayan, dari kekerasan fisik yang tercatat 25 kasus. Diakuinya banyaknya kekerasan dalam peliputan ini justru terjadi di daerah.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh pada tanggal 3 mei juga masih diwarnai gugatan terhadap media dan jurnalis dan regulasi yang membungkam. "Sebagian besar (40 persen) gugatan masalah perburuhan," ungkap Sholeh.

Sementara itu Kepala Divisi Litigasi Lembaga Bantuan Hukum Pers Sholeh Ali menyatakan kekerasan aparat bertujuan membuat wartawan menjadi takut. Kerusuhan di Sentani pekan lalu, lanjutnya merupakan bentuk ancaman pada wartawan agar tidak menyebarkan informasi.

Catatan Lembaga Bantuan Hukum, pelaku kekerasan baik fisik dan nonfisik dilakukan pula oleh massa, aparat pemerintah, anggota parlemen, partai politik, preman, organisasi massa, aparat keamanan dan mahasiswa.


Sepanjang Mei 2008-2009 tercatat 26 gugatan yang diterima Lembaga Bantuan. Sepuluh gugatan masalah perburuhan, diikuti sembilan gugatan pidana, lima gugatan perdata, satu gugatan sengketa Tata Usaha Negara dan satu gugatan masalah kebebasan pers.

Sholeh menyatakan kepentingan media terhadap pemberitaan ternyata mempengaruhi status kepegawaian jurnalis. "Kami menerima dua kasus, gara-gara tulisan seorang jurnalis dipecat pemimpin medianya," imbuhnhya.

Kasus yang dimediasi Lembaganya, Hendrayana melanjutkan yang mayoritas menang masalah gugatan perdata. "Kami menang di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial," jelasnya. Sisanya masih dalam proses hukum.

Tren gugatan terhadap media dan jurnalis, Hendrayanan menyimpulkan lebih ke arah pembangkrutan media atau jurnalisnya. "Upaya hukumnya bukan untuk mendidik, tapi lebih ke pembungkaman." Ia mencontohkan tuntutan Rp 10 miliar mantan Kepala Polisi Daerah Sulawesi Selatan kepada Jupriadi Asmaradhana serta gugatan Rp 1 triliun terhadap majalah Time.

"Mereka banyak menggunakan pasal pencemaran nama baik," jelasnya," Padahal sudah ada Dewan Pers." Maka Hendrayana turut senang ketika Surat Edaran Mahkamah Agung no 13/2008 tentang saksi ahli dalam kasus pers. "Ini angin segar bagi kebebasn pers."

Adapun masalah regulasi, menurut Hendrayana kini pemerintah tampaknya ingin masuk ranah kebebasan pers. "Ada klausul untuk bisa mengatur surat izin penerbitan dalam revisi UU Pers (No 40/1999)," ucapnya.

Ancaman pencabutan izin, Hendrayana menambahkan juga terlihat pada pasal 57 UU Pemilihan Presiden (UU nomer 42 tahun 2008). Maka lembaga Bantuan menuntut pemerintah dapat mencabut regulasi yang mengancam kebebasan pers. "Tapi media juga harus memperbaiki kekurangan internalnya," tutupnya.
Sumber : Tempointraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar