Rabu, 22 April 2009

Arus Besar Pembiaran

PERSOALAN besar yang dihadapi bangsa ini sekarang adalah menyangkut penerimaan publik terhadap hasil pemilu legislatif yang digelar pada 9 April lalu.

Yakni, bagaimana publik menerima hasil pemilu itu sekalipun penyelenggaraannya penuh cacat, sekalipun paling amburadul. Cara yang paling bijaksana untuk membuat publik menerima hasil pemilu adalah dengan mengusut tuntas semua kecurangan.

Bawa semua kasus ke pengadilan dan hukum yang bersalah tanpa pandang bulu. Dengan demikian, sekalipun cacat, hasil pemilu kiranya lebih dapat diterima dengan lapang dada karena hukum ditegakkan. Yang berlaku di sini adalah kearifan untuk memaafkan, tetapi tidak melupakan, agar barang busuk tidak terulang kembali.

Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda semua itu akan dilakukan. Yang terjadi adalah pembiaran.
Kecurangan pemilu, baik administratif maupun pidana, sesungguhnya menjadi domain Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, Bawaslu menyampaikan pelanggaran administrasi kepada KPU dan menyalurkan pelanggaran pidana kepada kepolisian untuk diteruskan ke peradilan umum.

KPU dari awal tampak mengambil sikap defensif. Contoh paling terang ketika masyarakat mempersoalkan daftar pemilih tetap yang amburadul, KPU bukan memperbaikinya malah berwacana menyalahkan pihak lain. Begitulah, KPU melakukan pembiaran terhadap pelanggaran administrasi.

Bagaimana dengan pelanggaran pidana? Bawaslu sudah memutuskan untuk memidanakan semua anggota KPU dengan tuduhan KPU telah menyebabkan suara pemilih tidak bernilai karena mengesahkan surat suara yang tertukar.

Salah satu bukti yang diajukan Bawaslu adalah Surat Edaran KPU Nomor 676/KPU/IV/2009 yang menjadi dasar hukum pengesahan surat suara yang tertukar. Akan tetapi, sangatlah mengecewakan, kepolisian bukannya segera menindaklanjuti laporan Bawaslu.

Kepolisian justru bersikeras menolak menanganinya karena menganggap kasus yang dilaporkan Bawaslu itu masuk dalam wilayah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Padahal, sesuai dengan perintah undang-undang, waktu untuk menyidik tinggal 12 hari dan waktu untuk pengadilan tinggal 17 hari. Dengan kata lain, KPU maupun kepolisian dengan kelakuannya masing-masing, tidak berbuat apa pun agar publik dapat menerima hasil pemilu dengan lebih lapang.

Keduanya bersengaja membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah. Ketidakjujuran pemilu tidak perlu diurus sebab saatnya solusi akan datang dengan sendirinya, yaitu ketika mau tidak mau, rakyat akan menerima hasil pemilu.

Yang sedang bekerja adalah pembiaran. Pertama, membiarkan mereka yang mengecam buruknya penyelenggaraan pemilu terus menggonggong sepuasnya, toh rakyat nanti menerima hasil pemilu apa adanya. Basis pemikiran ini adalah rakyat umumnya akan pasrah, akan nrimo.

Kedua, membiarkan lembaga negara tidak bertanggung jawab atas kecurangan pemilu karena yang perlu bagaimana mendapat pembagian kekuasaan. Tidak penting bagaimana cara kekuasaan itu dimenangkan.
Itulah sebabnya, tema pelanggaran pemilu dan upaya penegakan hukum kalah menarik jika dibandingkan dengan tema merapat kepada yang menang. Jangan heran, yang paling seksi dewasa ini adalah berupaya menjadi wapres yang mendampingi SBY. Sebab, mubazir ikut yang kalah.

Begitulah, yang sedang tumbuh adalah arus besar pembiaran. Keadaan yang menyedihkan karena di masa Pak Harto pun terjadi arus besar pembiaran untuk menerima hasil pemilu.
Sumber :http://www.mediaindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar